Bulan Febuari, bulan yang penuh dengan cinta. Dia telah telah membuat keputusan. Dia adalah kakak perempuanku yang sangat kusayangi, dulu. Dia adalah wanita yang sangat sempurna menurutku. Tingginya memang tak lebih dariku. Tetapi dia mempunyai kulit yang putih, senyum yang manis karena bibirnya yang merah segar, dan mata yang indah. Aku yakin semua laki-laki akan terpesona jika melihatnya. Sedangkan aku, aku iri padanya. Walaupun banyak yang bilang aku lebih darinya, buatku itu adalah sebuah kebohongan.
Kota tempat kami tinggal begitu kecil. Banyak orang yang lahir dan dibesarkan di sini, jatuh cinta dan kemudian menikah. Ya, seperti kakakku yang akan menikah bulan depan. Tetapi rasanya aku tidak bisa memberikan restu kepada wanita yang umurnya beda sembilan tahun denganku itu. Padahal dulu aku sangat menyayanginya, dan dia juga sangat menyayangiku. Aku masih ingat beberapa tahun lalu sebelum aku merasa benar-benar tersiksa seperti ini.
Saat itu hujan turun dengan deras. Aku dan kakakku sedang berbelanja pakaian untuk hari natal nanti. Kakakku selalu mebelanjakan kebutuhanku, karena pekerjaannya yang memeberikannya penghasilan yang cukup, walaupun orang tua kami masih lengkap. Kami Terjebak di dalam mall karena hujan yang tidak reda juga. Akhirnya kami memutuskan untuk makan di salah satu restauran yang ada di sana. Saat aku sedang makan, kakakku mengambil telepon genggamnnya dan Menelepon seseorang. Seseorang yang sudah tak asing lagi buatku. Dia Menelepon kekasihnya.
“Bukankah ia sedang bekerja di luar kota? Di Kendari kan? Katanya sedang mengerjakan sebuah proyek penting.” , kataku pada kakak
“Ya, benar. Aku ingin memberikan kejutan buatmu”, jawab kakak dengan wajah yang sedikit menggoda. Aku sudah bisa menebaknya. Mungkin kakak akan memperkenalkannya padaku, karena selama ini aku belum pernah melihatnya ataupun sekedar berbicara dengannya. Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengannya. Bahkan aku lupa siapa namanya. Erik mungkin, atau Ari. Ah, sudahlah aku tidak peduli. Tiba-tiba aku ingin pipis. Rasanya sudah tak tahan. Aku segera pergi mencari toilet tanpa pamit dengan kakakku. Kakakku hanya kebingungan melihat ku berlari. Tetapi aku yakin dia paham kalau aku ingin ke toilet. Untung toiletnya tidak penuh. Aku segara memuaskan keinginanku untuk buang air kecil, lalu kembali ke restauran tadi. Saat aku kembali, aku bingung, mana kakak? Jangan-jangan dia menyusulku ke toilet. Tapi harusnya kami berpapasan tadi. Aku kebingungan. Aku tidak membawa telepon genggam maupun uang untuk pulang sendiri. Ah, seharusnya aku tidak boleh terlalu bergantung pada kakak.
Akhirnya aku memutuskan untuk mencarinya. Aku mengelilingi mall yang sangat besar itu, tetapi tidak menemukannya juga. Aku mulai lelah dan haus. Aku memutuskan untuk duduk sejenak di kursi salah satu food court yang ada di mall itu, berharap ada seseorang yang baik hati yang mau membelikanku minum. Tiba-tiba datang seorang pelayan dan mengusirku. Katanya kalau tak membeli apa-apa, aku tak boleh duduk di situ. Tetapi aku sudah lelah dan tak sanggup untuk berdiri. Mau pingsan rasanya. Lalu datanglah seorang pria yang berbadan tegap dan tinggi. Dia terlihat begitu keren. Aku bisa melihat dengan jelas rambut jagungnya yang cepak, tatapan matanya yang tajam tetapi lembut, dan ia menghampiriku. Ia menolong ku dari pelayan yang kurang ajar itu. Seperti cerita-cerita di film superhero saja pikirku.
“Mas, jangan kasar sama anak prempuan. Kalau anak perempuanmu saya kasarin, memangnya kamu mau!”, kata pria itu dengan nada yang agak marah. Pelayan kasar tadi akhirnya minta maaf padaku. Karena sudah jengkel, aku hanya diam saja. Pria itu memesan segelas jus jeruk untukku. Sepertinya ia tau kalau aku kehausan.
“Kenapa kamu sendirian di sini? Kamu Kelihatan sangat capek, minumlah jus ini. Tenang saja, aku bukan orang jahat kok”. senyumnya begitu ramah. Membutaku yakin kalau dia bukan orang jahat, dan aku segera mengambil jus itu.
“Kamu belum jawab pertanyaanku.”, tanyanya sekali lagi.
“Saya kesasar.”, Jawabku singkat sambil menyeruput jus jeruk.
“Kesasar? Memangnya umurmu berapa?”
“Tahun depan tujuh belas tahun”. Pria itu pasti tidak percaya, anak sebesar aku bisa kesasar. “Kenapa, setiap orang pasti pernah nyasar kan? Bukan cuma anak kecil yang bisa kesasar”, jawabku agak kesal. Dia tertawa melihatku kesal. Seprtinya dia orang yang keras di luar, tetapi lembut di dalam. Saat melihat tawanya itu, seketika aku merasakan getaran di dalam hatiku.
“Astrid….”, aku mendengar seseorang memanggil namaku.
“Kak Citra”, balasku. Ternyata kak Citralah yang memanggilku.
“Ari, kamu kok gag bilang kalau kamu lagi sama Astrid!”
“Oh, jadi ini adikmu, Astrid. Aku ga tau kalau anak ini adikmu”, balas pria itu yang ternyata dia adalah pacar kakakku yang baru pulang dari Kendari. Saat itu juga aku merasa seperti ada angin dingin yang menusuk haiku. Entah kenapa tiba-tiba aku menjadi sesak, dan aku tak dapat berkata apa-apa. Setelah pertemuan yang tak terduga itu, kami pulang ke rumah, dan tentu saja kak Ari ikut kami pulang. Kami pulang dengan naik taksi. Di dalam taksi, kak Ari banyak bercerita tentang pengalamannya saat bekerja di Kendari. Kakakku dan kak Ari tampak begitu mesra. Di dalam taksi, aku hanya diam sambil meratapi jalan-jalan yang basah karena hujan. Sejak saat itu aku sadar bahwa aku menyukai pria itu. Aku jatuh cinta pada kak Ari.
Kupikir cinta itu hanya perasaan sesaat, yang datang tanpa permisi dan akan pergi juga tanpa permisi. Tetapi aku keliru. Semakin hari perasaan ini malah semakin bertambah. Setiap kali aku melihat kak Citra dan kak Ari berduaan, ada rasa kesal di dalam hatiku. Aku berusaha untuk tidak cemburu dengan kakakku sendiri. Tetapi semakin kutahan rasa cemburuku, semakin kesal aku jadinya. Sudah satu tahun aku menahan perasaan ini. Hingga sekarang, mereka akan menikah. Aku tidak bisa membayangkan bila seumur hidup, aku harus melihat mereka berdua atau bahkan mempunyai anak. Bahkan rasa sayangku kepada kakakku selama ini, perlahan-lahan berubah menjadi perasaan iri dan dengki.
***
Sekarang bulan Febuari. Dan sebentar lagi aku harus siap menghadapi ujian akhir sekolah. Aku bersekolah di sebuah sekolah swasta yang letaknya agak jauh dari rumah. Saat pulang sekolah biasanya aku dan dua orang temanku, Andien dan Nita ngobrol di warung pak Karim.
“huff… ga terasa ya sebentar lagi kita akan ujian. Kira-kira di kelas XII nanti kita sekelas lagi ga ya?”, sahut temanku Andien.
“memangnya kalau ga sekelas lagi kenapa din?”, tanya Nita dengan wajah menyelidik.
“ya… ga kenapa-kenapa sih. Kan seru kalau kita sekelas lagi. Sebenarnya yang lagi gue pikirin tuh soal ujiannya. Pasti ujiannya susah deh. Baru dipikirin aja udah pusing”
“ngomong-ngomong soal ujian, kayanya udah ada yang siap tuh. Dari tadi diem aja kayanya”, kata Nita sambil menyenggolku.
“hah, ada apa?”, aku terbangun dari lamunanku. Akhir-akhir ini aku jadi sering melamun dan tidak bersemangat bila diajak pergi oleh teman-temanku. Andien dan Nita mengira aku sedang memikirkan ujian akhir sekolah. Padahal aku sedang melamun tentang ka Ari. Lalu datanglah ka Ari dengan motornya yang sangat ia sayangi. Dia tidak mau membeli mobil karena takut motornya jadi terbengklalai. Mulai bulan ini ka Ari akan rutin menjemputku dari sekolah dan juga menjadi guru privatku. Rasanya senang sekali bisa Mepunyai waktu yang lebih banyak untuk berduaan dengannya.
“wah… ganteng banget siapa tuh As?”, tanya Nita
“oh, itu guru privat gw. Udah ya gw duluan”
“cieee, mesra banget. Pasti belajarnya tambah semangat deh.”, perkataan Andien terse but hanya ku jawab dengan senyuman. Mereka tidak tahu kalau laki-laki itu adalah orang yang sangat kucintai dan ia adalah pacar kakaku. Atau mungkin lebih tepatnya calon suami kakakku. Ah, diakan baru calon suami. Jadi ka Ari belum jadi milik siapa-siapa kan. Berarti mungkin aku masih ada kesempatan. Saat itu mulai timbul rencana-rencana dalam kepalaku untuk merebut ka Ari dari kakakku. Tetapi lagi-lagi aku teringat dengan kakakku. Masa aku tega merebut pacarnya. Apa lagi mereka akan menikah. Masa aku jahat terhadap kakak kandungku sendiri. Aku mulai muak dengan semua ini.
“ya, pelajaran hari ini sampai disini dulu. Lagi pula kamu sudah pintar kok.” aku hanya memebalas pujian ka Ari dengan senyuman. Lalu ka Citra datang dengan membawa kue dan dua cangkir teh.
“gimana Ri, si Astrid bisa ga?”, tanya kakak.
“Astrid sih udah pinter, memangnya kamu, kalau diajarin susah banget.” mereka mulai bercanda lagi.
“lho, kuenya kok kamu makan sih. Emangnya kamu yakin bajunya pengantinnya akan muat? Hahahaha.”, ledek ka Ari terhadap kakak. Aku ingin sekali merasa bahagia jika melihat pemandangan ini. Tetapi tidak bisa. Aku malah jadi sedih, dan ingin lari rasanya. Akhirnya ka Ari pulang. Entah kenapa aku merasa ingin ngobrol dengan kakak. Sepertinya hal ini sudah lama tak kami lakukan.
“ka, ka Ari tuh orangnya lucu ya. Pasti kakak bahagia punya pacar kaya ka Ari, iya kan?”, tanyaku.
“mmm… iya sih. Dia tuh orangnya lucu, resek, tapi kadang-kadang dia bisa jadi Pemarah lho. Dia nyenengin walaupun kadang-kadang nyebelin, soalnya dia suka cuekin kakak sih”. Aku bisa melihat mata kakak yang indah berkaca-kaca saat menceritakan ka Ari dan Nampak jelas raut kebahagiaan diwajahnya.
“iya ya. Dia kadang-kadang bisa jadi Pemarah. Tapi keren kan, cieee…. Pasti kakak bangga punya pacar yang keren kaya ka Ari. Jarang lho ada cowok yang “cool” kaya ka Ari”
“ah, kamu bisa aja! Tapi, tumben kamu ngomongin ka Ari. Kakak pikir kamu ga tertark sama dia. Dulu kamu cuek kalau kakak lagi certain dia.”
“karena ternyata dia baik. Aku senang kakak akan menikah sama dia.” Aku mengatakan hal tersebut sambil bergumam dalam hati “ya Tuhan, maafin aku karena sudah berbohong terhadap kakakku sendiri.”
“Terima kasih sayang. Kakak senang kalau kamu merestui hubungan kakak dengan ka Ari dan kakak harap itu juga berarti kamu merestui penikahan kami.” Aku hanya tersenyum paksa. Sepertinya tidak seharusnya aku mengatakan demikian.
“tapi, sepertinya kalian terlalu terburu-buru menikah. Kalian kan jarang bertemu dan jarang berkomunikasi. Apa kakak tidak mau mengenalnya jauh lebih dekat?”
“memang, tetapi ka Ari sudah berumur 34 tahun. Sudah waktunya bagi dia untuk menjadi kepala keluarga. Lagipula kakak juga sudah siap. Umur kakak kan juga sudah 25 tahun. Suatu saat kamu juga akan merasakan apa yang kakak rasakan.”
Kata-kata kakak tersebut menjadi pembicaraan terakhir kami. Aku masuk ke kamarku lalu berbaring di tempat tidur. Aku masih memikirkan kata-kata kakak tadi. “34 tahun”, gumamku. Selama ini kupikir umurnya masih 26 tahun. Dia tidak terlihat berkepala tiga. Badannya yang tegap dan tinggi, wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang selalu wangi dan Kelihatan bugar sama sekali tidak menujukkan umurnya yang sudah kepala tiga. Berarti dia beda 18 tahun denganku. Aku tidak bisa berpikir. Aku jatuh cinta dengan calon suami kakakku dan ternyata umurnya beda 18 tahun denganku.
***
Sekarang rasanya aku sudah kehilangan semangat pagiku, setelah semalaman tidak bisa tidur karena memikirkan kejadian kemarin. Sahabat-sahabatku selalu menanyakan mengapa aku terlihat lesu belakangan ini. Tetapi aku enggan untuk bercerita kepada mereka. Masa aku harus bilang bahwa aku mencintai pria yang umurnya beda 18 tahun denganku. Aku bisa membayangkan apa reaksi mereka nantinya. Aku pasti akan dianggap gila karena suka dengan “oom-oom.”
“heh, Astrid. Cepetan kumpulin tugasnya! Gue bisa repot kalau ada yang telat ngumpulin tugas!”, kata Richard dengan ketus. Aku langsung memberikan tugasku padanya dengan wajah tidak suka. Kenapa orang sekasar dia harus jadi ketua kelas. Dia selalu berbicara ketus, khususnya padaku.
“kenapa sih tuh ketua kelas! Kesurupan kali ya. Kerjaannya ngomel terus! Nyebelin!”, gerutuku pada sahabat-sahabatku.
“udahlah, dia kan memang begitu. Tapi mungkin itu kebalikan dari sikap dia. Mungkin sebenarnya dia suka kali sama loe. Hehehehehe”, jawab Nita. “Ih, malas benar disukai sama orang seperti dia”, pikirku. Lagipula dia dari keluarga orang kaya. Aku yakin dia kasar denganku karena perbedaan status ekonomi. Aku yang hanya orang sederhana tidak akan sebanding dengannya.
“hari ini kamu kelihatan tidak bersemangat. Ada apa de? Kamu lagi ada masalah di sekolah ?”, tanya ka Ari.
“ah, ga ada kok kak. Tadi cuma ada ribut kecil dengan ketua kelas”, jawabku. Sebenarnya aku ingin sekali jujur bahwa masalahku ada di antara kita. Ingin sekali aku mengakui bahwa aku mencintai ka Ari, tetapi tidak bisa.
“kalau begitu hari ini kita tidak usah les. Sebenarnya dari dulu aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Gimana, mau ga?”
“mmm, oke. Lagipula aku bosan belajar terus. Kakak tau aja kalau aku suka jalan-jalan. Hehehehe. Kita mau kemana ka? Ayo cepet!”, pintaku penuh semangat.
Akhirnya sampilah kami di sebuah tempat yang bernama Blue Café. Ka Ari menjelaskan padaku bahwa ini adalah tempat favoritnya dan ka Citra untuk malam Mingguan sekaligus tempat yang mempertemukan mereka. Aku agak sedikit tidak suka dengan tempat ini.
“kamu mau minum apa de? Oh, tunggu. Aku tau, pasti jus jeruk yang asem kan? Dan makanannya biar aku yang pilihin menu special buat kamu. Kamu pasti suka.”, kata ka Ari dengan senyumannya yang manis.
“kamu tau ga? Kenapa manusia bisa saling mencintai?”
“ga tahu ka”, jawabku singkat. Aku heran, mengapa dia menanyakan hal terse but.
“jadi begini. Pada jaman dahulu manusia begitu sombong, sehingga Tuhan memisahkan satu dengan yang lain, makanya sekarang setiap manusia ingin mencari pasangannya”
“ah, dasar. Itu sih cerita buat anak bocah. Masa aku diceritain cerita yang ga masuk akal kaya begitu. Hahahahahahaha”
“ih kamu! Kalau ga percaya ya sudah. Itu kan cerita menurut ilmu falsafah! terserah kamu percaya atau enggak, tapi aku akan doain kamu supaya kamu mendapatkan orang yang selama ini kamu cari”, lagi-lagi ia mengeluarkan senyumnya yang manis itu. Apakah boleh aku mengatakan bahwa orang yang aku cari itu adalah kakak sendiri. Ah, tidak mungkin, ka Ari kan jodohnya ka Citra. Buktinya mereka akan menikah. Lama-lama aku jadi sebal dengan perbedaan umur ini. Kalau saja aku adalah ka Citra, akau pasti akan bahagia sekali bisa mendapatkan ka Ari.
“oh ya de, aku punya kejutan buat kamu. Kamu duduk yang tenang disini ya”, lalu ka Ari naik ke atas panggung yang biasa menampilkan live musik. Ia duduk sambil memangku gitar akustik. Dari atas panggung, ia tersenyum ke arahku dan menggerakan bahasa tubuh yang katanya lagu ini buatku. Suara gitar yang indah mulai mengalun. Ka Ari mulai Bernyanyi. Ia menyanyikan lagu kesukaanku, You Make My World So Colourfull.
Morning sunshine in my room
Now the room is back in tune
Autumn star this day with the smile
And laughs at my beautiful of one
Whose lying beside me
mendengar lirik pertama dari lagu itu membuatku sesak. Perasaanku bercampur aduk antara senang dan sedih. Aku hanya bisa diam dan terpaku mendengarkan lagu tersebut. Rasanya lagu itu sedang menggambarkan perasaanku sekarang. Ka Ari menyanyikan lagu terse but dengan sangat indah. Suaranya yang merdu dan penampilannya yang gagah membuat hati para pengunjung terpesona. Ya, aku bisa merasakannya.
You make my world so colourfull
I’ve never had it so good my love
Thank you for all the love
You gave to me
Lirik tersebut mengakhiri penampilannya yang indah. Ia mulai turun dari panggung, dan para pengunjung memberikan sambutan yang meriah. Mataku tak bisa berhenti menatapnya. Aku tidak peduli apa yang akan ia pikirkan melihatku terpesona begini. Saat ini yang aku pikirkan hanyalah aku sangat bahagia. Ia mulai kembali menghampiriku dan duduk di sampingku.
“gimana lagunya? Kamu suka kan?”, tanya ka Ari.
Aku tersenyum sebentar dan berkata,”aku suka banget ka. Jujur aku terharu karena kakak udah ngasih hadiah yang sangat indah. Aku enggak akan pernah ngelupain malam ini.”
“kakak ngelakuin ini karena kakak sayang sama kamu seperti kakak sayang sama Citra.”, ia berhenti sebentar,”kamu tahu ga? Waktu per tama kali Citra bercerita tentang kamu, aku sudah ga sabar ingin ketemu sama kamu. Dan tenyata benar apa yang aku bayangkan. Kamu tuh lebih cantik dari kakakmu, lebih pintar, apalagi kalau tersenyum, kamu manis banget kaya gula. Hehehe. Besok adalah hari pernikahan kami. Aku ingin minta restu dari kamu. Karena kamu adalah orang yang paling dekat deng….”
“CUKUP!”, potongku,”aku ga mau denger lagi. Selalu saja bilang aku ‘lebih’ dari kakak, tapi pada akhirnya ka Ari lebih memilih kak Citra. Kakak tuh udah memepermainkan peasaan aku.” Setelah berkata demikian, aku pergi berlari meninggalkan ka Ari. Aku terus berlari di dinginnya malam tanpa tujuan. Bahagia yang tadi kurasakan berubah menjadi kepedihan. Aku semakin tidak bisa menerima Kenyataan ini. Kenyataan bahwa besok mereka akan menikah. Pupus sudah harapanku. Aku berlari terus, sampai aku merasa lelah. Lalu aku duduk disebuah bangku yang ada ditaman kota. Aku duduk sendirian. Aku mengeluarkan handphoneku, dan memutar lagu tadi, lagu kesukaanku. Ketika musik pertama mulai mengalun, air mataku pun ikut menetes. Aku tidak mengerti, kenapa kebahagiaan itu berlalu dengan cepat. Aku merasa Tuhan tidak adil. Ah… aku tidak mau peduli lagi.
Tiba-tiba, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku tersntak dari tangisanku.
“Richard”
“loe ngapain sendirian disini, malam-malam gini kok sendirian di luar?”, tanyanya. Aku hanya diam sambil menyeka air mataku.
“loe lagi ada masalah ya? Gue tahu kalau loe lagi sedih, tapi jangan di luar kaya gini. Gue anterin loe pulang ya.”
“ga usah”, pintaku dengan suara lirih,”gue ga mau pulang” Richard lalu duduk di sampingku. Ia duduk tanpa berkata apapun. Aku sesekali melihatnya. Aku mulai merasa kalau ia sebenarnya baik. Aku menjadi kasihan padanya karena sudah beberapa kali menguap. Padahal ia sudah mengantuk, tetapi ia masih mau duduk dan menungguku dengan sabar.
“ayo kita pulang”, pintaku padanya. Aku melihat ia tersenyum, lalu berdiri. Ia memberikan jaketnya padaku karna melihatku menggigil kedinginan.
“ kalau boleh tau, sebenarnya loe kenapa? Lagi ada masalah ya?”, tanya Richard.
Sebenarnya aku enggan bercerita, tetapi entah kenapa aku tidak bisa menyimpan masalah ini sendirian. Aku mulai bercerita panjang lebar. Richard adalah pendengar yang baik. Ia selalu mendengarkan dengan baik apa yang aku ceritakan, ia tidak pernah memotong kata-kataku. Dan itu membuatku merasa nyaman berbicara dengannya.
“kalau menurut gue, loe harus bilang sama dia kalau loe sayang sama dia. Karena bagaimanapun juga mencintai adalah hak setiap orang. Kalau loe ga mengutarakan perasaan loe, kasihan cinta loe, dan loe ga akan bisa melupakan dia.”
“ yah, kita lihat saja nanti. Kalau sekarang jujur gue belum siap”
Richard mengantarku pulang sampai di depan rumah. Aku menawarkannya untuk mampir tetapi ia menolak karena sudah larut malam.
***
Esok paginya aku berangkat kesekolah seperti biasa. Aku memutuskan untuk tidak datang ke acara pernikahan kakak. Jujur, aku masih belum sanggup melihat mereka bersama. Aku bersikap seperti biasanya, bercanda dengan sahabat-sahabtku, belajar, dan nongkrong di warung pa Karim. Tiba-tiba Richard memangillku.
“cieeee…. Dipanggil sama yayang tuh”, ledek Nita dan yang lainnya sambil tertawa. Aku menghampiri Richard.
“gimana? Loe udah pikirin kata-kata gue kemarin?”, tanyanya.
“ya sudahlah, gue udah ga mikirin lagi kok.”
“tapi sampai kapan loe ga bias merestui kakak loe sendiri. Hubungan adik kakak loe bisa hancur!”
“kalau loe terlalu ikut campur gue akan marah banget sama loe!”, jawabku sambil meneteskan air mata. Kami terdiam sejenak. Lalu Richard menarik tanganku. Kami berlari ke tempat parkiran dan Richard mengambil motornya. Aku menurut saja apa yang ia lakukan terhadapku. Mungkin benar apa yang ia katakana. Aku harus merestui kakakku, kalau tidak, mungkin mereka tidak akan bahagia. Akhirnya kami tiba di Gereja, tempat kakak menikah. Tampaknya pemberkatan nikah sudah selesai.
“Astrid?”, aku melihat ka Ari dengan jas pengantinya memanggilku. Aku terpana sejenak melihatnya. Pandanganku bahwa ia adalah laki-laki paling keren nampaknya tidak akan pernah berubah.
“ternyata kamu datang juga. Resepsinya akan diadakan di gedung sebelah, ayo kamu ikut, kakakmu sudah ada di sana.”
Richard menepuk pundakku, memberikanku keberanian untuk mengakui perasaan ini.
“ka, aku ingin bicara sebentar. Tapi aku minta apa yang kakak dengar sekarang harus segera kakak lupain. Kakak mau janji?”
“ya. Kakak janji”
“mungkin ini konyol, tetapi untuk sekarang ini ijinkan aku untuk bilang kalau aku sayang sama kakak. Rasa sayang sebagai seorang perempuan”. ka Ari langsung memelukku. Dan aku tidak bias menahan air mataku di dalam pelukkannya. Tetapa saat itu juga aku merasakan kelegaan di dalam haiku. Mungkin saat ini aku belum bisa seratus persen melupakan ka Ari. Tetapi aku yakin suatu hari nanti aku benar-benar bias merestui mereka. Setelah itu aku dan Richard memutuskan untuk kembali ke sekolah.
“daripada kembali kesekolah, mendingan kita jalan-jalan saja yuk”, kata Richard.
“ye, dasar! Ketua kelas malah ngajarin bolos! Mmm… tapi bagus juga tuh idenya.” lalu kami pun tertawa saling saling berbagi cerita lucu. Mungkin inilah hikmah dari semuanya. Aku bisa dekat dengan ketua kelas yang selama ini tidak pernah akur denganku.
.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar