Sebagai seorang turis California yang tidak terbiasa dengan suhu berdigit satu, udara dingin menggigit di hari bulan Desember di WAghington, D.C., merusak suasana hari berliburku. Menurut perkiraanku, suhu saat itu di bawah nol. Ketika aku berlindung ke dalam Union Station, yang kuharapkan hanyalah untuk menjadi hangat. Yang kudapati adalah sebuah pelajaran mengenai makna sejati musin itu-dari seoran g tuna wissma.
Rasa hangat perlahan-lahan mulai kembali ke tangan dan kakiku ketika aku duduk di slah satu bangku umum sambil memegang cangkir kopi panas yang berkilauan. Sekarang aku siap untuk bersantai dan melakukan pengamatan orang dengan serius. Aku melihat seorang laki-laki tuna wisma duduk di dekatku, dan ada juga beberapa meja pengunjung restoran kelas atas America Restaurant yang dilekatakkan di lobi luas itu. Aroma surgawi santapan berkelas menggodaku untuk mempertimbangkan makan malam lebih awal. Dari tatapan ingin di mata tetanggaku jelas terlihat bahwa ia juga memeperhatikan perjamuan yang sedang berlangsung di sekitar kami. Aku bertanya-Tanya dalam hati sudah berapa lama sejak ia terakhir makan sesuatu. Menduga ia akan mendekatiku untuk meminta sedekah, aku siap menyambut baik permohonan semacam itu darinya. Ia tak pernah melakukannya. Semakin aku mengamati situasi itu, semakin nasibnya terlihat kejam. Kepala dan hatiku memeperdebatkannya: yang pertama menyuruhku untuk mengurusi masalahku sendiri, dan yang kedua mendorongku supaya segera membeli sesuatu untuk mengisi perutnya.
Ketika perdebatan batin ini sedang berkecamu, sepasang laki-laki dan perempuan berpakaian bagus tibaptiba mendekatinya. “Permisi, Tuan,” sang suami mulai berkata. “Saya dan istri saya bari selesai makan dan selera makan kami ternyata tidak sebesar yan gkami kira. Kami tidak suka membuang-buang makanan yang masih bagus. Bisakah Anda menolong kami untuk memanfaatkan makana ini?” Prang asing baik hati itu menyodorlan sebuah tempat stirofom berukuran besar yang luber denga makanan. “Tuhan memberkati kalian berdua. Selamat Natal,” jawab laki-laki tuna wisma itu penuh rasa stukur. Mesa senang melihat peristiwa itu, tapi kecewa karena tidak melakukan apa-apa, aku mengamati raksi tetanggaku terhadap nasib baik yang mendadak dialaminya itu. Pertama-tama ia meneliti harta yang baru ditamukannya itu, menata biscuit sup, memeriksa isi sandwich, dan mengaduk saus salad. Lalu perlahan ia membuka penutup sup, menghirup aromanya, dan menggenggam sekekikinga mangkuk yang mengepul pana dengan kedua tangannya. Tampak jelas ia akan pemperpanjang kenikmatan santapan ajaib itu. Akhirnya, ia terlihat siap untuk suapan pertama yang lama diimpikannya. Setelah dengan cermat membuka pembungkus sendok plastic sup, ia memenuhinya sampai luber, mengankatnya ke mulutnya, dan dengan gerakan tiba-tiba yang mengejutkanku mendadak menghentikan suapannya.
Penyebab perilaku yan gtidak terduga itu tak lama kemudian kuketahui seorang pendatang bari sedang memasuki lobi dan menyeret langkahnya kea rah kami. Dalam usia tujuh puluhan, tidak bertopi dan tidak bersarung tangan, laki-laki tua itu hanya mengenakan celana panjang tipis, jaket compang-camping, dan sepatu terbuka. Kedua tangannya merah kedinginan dan wajahnya kebiruan. Bukan hanya aku yang mendesah kaeras melihat pemandangan menyedihkan itu, tapi tetanggaku adalah sati-satunya orang yang melakikan seesutau untuk memperbaiki keadaan itu. Setelah cepat-cepat menyingkirkan harta karunnya ke samping, ia melompat berdiri dan membinbing laki-laki tua itu ke sebuah kursi di dekatnya. Ia memegang kedua tangan laki-laki itu dan menggosok-gosokannya dengan tangannya sendiri. Dengan lembut ia menyampirkan jaket bulunya di atas bahu laki-laki yang lebih tua itu.alhirnya, ia berbicara. “Pak, namaku Jack, dan salah satu malaikat Tuhan memebawakanku makan ini, aku baru saja selesai makan dan aku tidak suka membuang-buamg makanan yang masih bias dimakan. Bisakah kau menolongku menghabiskannya?” ia tidak menunggu jawaban dan langsung meletakkan mangkuk sup yang mengepul-ngepul ke dalam genggaman oran gasong itu. Tapi ia memperoleh sebuah jawaban. “Tentu, Nak, tapi hanya jika kau mau berbagi sandwich itu denganku. Makanan ini terlalu banya bagi orang seumurku.”
Aku mengalami kesulitan melangkah ke cafeteria dengan penglihatan terhalang air mata, tapi tak lama kemudia aku kembali degnan cangkir kopi dan korak roti terbesar yang ada. “permisi , Tuan-tuan, tapi…”
Prangtuaku, seperti juga orangtuamu, mengajariku untuk berbagi, tapi baru pada hari itu di Union Station aku benar-benar mengerti makna kata ini. Aku meninggalkan lobi tiu dengan perasaan yanglebih hangat daripada yang kukira akan pernah rasakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar