Kamis, 06 Oktober 2011

GITAR YESKI

Jumat, 16 September 2005

Teng tong teng tong

Bunyi bel istirahat telah berbunyi. Semua siswa-siswi SMA Mardy Mulia berhamburan meninggalkan kelasnya masing-masing. Seperti biasa para siswa di sekolah ternama itu melakukan kegiatan mereka masing-masing. Dari yang bermain di lapangan basket, bergosip, makan di kantin, sampai yang berpacaran pun tidak tertinggal. Yeski, Ari, dan Dewi sudah duduk manis di meja kantin tempat mereka biasa berkumpul dan bercanda.
“Lusa itu hari apa ya? Kayaknya ada yang spesial deh…..,” kata Dewi.
“Oh…gue tahu, pasti lusa itu hari Minggu,” jawab Ari asal.
“Jiah, gue juga tahu kalo lusa itu hari Minggu….kan tadi gue bilang ada yang spesial,” tukas Dewi sambil melirik jahil pada Yeski.
“Spesial? Pake telor kali spesial,”
Dewi langsung memukul kepala Ari, “Yee.. becanda melulu nih anak!!”
“Emangnya lusa tuh ada apa sih? Kalian mau janjian pergi tanpa gue ya?!” tanya Yeski dengan wajah yang polos.
“Ah.. capek deh ngomong sama si Yeski.. Oon lo tuh ga sembuh-sembuh dari SD! Hahahaha..” ledek Ari sambil tertawa keras. Siang itu pun dipenuhi tawa tiga orang yang sudah bersahabat dari kecil itu.
Sebenarnya, lusa adalah hari ulang tahun Yeski. Yeski adalah anak orang yang tidak mampu. Ia tinggal dengan seorang ibu yang mencari nafkah hanya dengan berjualan gorengan di stasiun kota, dan tiga orang adik perempuan yang sangat dekat dengannya. Adiknya yang pertama bernama Glory yang umurnya beda 2 tahun dengannya, yang kedua Deasy, adik perempuannya yang masih duduk di bangku SMP kelas 1, dan yang terakhir Asty, yang masih berumur 5 tahun.
Kehidupan yang dijalani Yeski begitu berat. Semenjak ayahnya meninggal, ia dan ibunya menjadi tulang punggung keluarga. Setelah pulang sekolah, Yeski tidak punya waktu untuk nongkrong, atau bermain seperti yang biasa dilakukan oleh anak sebayanya. Ia harus bekerja paruh waktu sebagai tukang cuci piring di Rumah Makan Padang yang sederhana. Impiannya hanya satu yaitu menjadi seorang musisi terkenal. Tetapi tak satupun alat musik yang ia punya. Ia berharap di hari ulang tahunnya yang ke-18, ia bisa membeli sebuah gitar yang sudah ia impikan sejak dulu.

Keesokan harinya Yeski hendak mampir ke rumah sahabatnya sejak kecil, Ari.
“Eh, Yes.. lo ga kerja? Tumben lo gini hari ke rumah gue,” sambut Ari ketika membukakan pintu rumahnya.
“Iya nih, soalnya gue mau minjem gitar lo. Boleh kan? Biasa Ri, gue mau memperdalam kesaktian gue hehe..”
“Cooaahhh.. bisa aja lo haha. Yaudah masuk dulu yuk,” ajak Ari.
Mereka pun asik membicarakan tentang kesukaan mereka yang sama sejak dulu, yaitu gitar.

Minggu, 18 September 2005
Itu artinya….
“KEJUTAAAAN!!!” teriak Ari dan Dewi bersamaan. Dewi memegang sebuah kue tart dengan topingan biskuit berbentuk gitar, sementara Ari membunyikan sebuah ‘petasan’ tiup. “SELAMAT ULANG TAHUN YESKI”
Sontak Yeski terbangun dari tidurnya dan segera memakai kacamatanya. Kejutan itu  dilanjutkan dengan pesta kecil-kecilan di rumah yang begitu sederhana, bahkan bisa dibilang sudah tak layak.
“Yes, gue punya kejutan lagi nih buat lo. Tapi lo tutup mata lo dulu”
“Ah.. lo  mau ngasih gue kecoa ya Ri?! Ogah! Gue ga mau!”
“Yaelah.. lo ga percayaan banget sih sama gue! Gue kan mau ngasih ini,” balas Ari sambil mengeluar kan sebuah dus yang sangat besar. Yeski terdiam sesaat. Dewi menyuruh Yeski untuk segera membukanya. Yeski segera membukanya, ia pun terkejut karena hadiah yang diberikan oleh sahabatnya itu adalah sesuatu yang selama ini ia impi-impikan.
“Ri, ini kan mahal,” kata Yeski dengan wajah yang tidak percaya bahwa ia sekarang mempuanyai sebuah gitar.
“Enggak kok, lo tenang aja. Gue ga sampe jual rumah untuk beli itu,” canda Ari.
Mereka pun merayakan hari yang spesial itu dengan penuh kegembiraan. Yeski merasa sangat bersyukur dan berterima kasih karena memunyai sahabat seperti Ari. Buat Ari, membeli sebuah gitar bukanlah hal yang sangat sulit. Jelas saja, ia adalah pewaris tunggal dari seorang milyader yang mempunyai hotel bintang 5 yang cabangnya ada di mana-mana. Bisa dibilang hidupnya 180 derajat sangat berbeda dengan Yeski.
Ari berperawakan oriental dengan kulit yang putih dan mulus. Di sekolah selain terkenal tampan, ia juga pintar dan jago olahraga. Perempuan mana yang tidak jatuh cinta dengan Ari. Begitupun dengan Glory, adik pertama Yeski. Ia sudah cukup lama memendam perasaan terhadap Ari.
“Kak Ari..” panggil Glory.
“Eh.. ada apa Glor? Eits, sebentar.. aku tau kamu pasti nyariin Yeski kan? Yeski ga ada di kelas, aku juga lagi nyariin dia soalnya”
“Yah.. kemana sih tuh si Yeski. Aku pengen minjem penggaris ka, soalnya abis ini ada pelajaran matematika, tapi penggaris aku belom dikembaliin sama dia”
“Yudah kita cari sama-sama aja yuk”
Akhirnya Ari dan Glory mengitari sekolah mencari Yeski. Tak lama kemudian mereka mendengar suara petikan gitar yang sangat indah dan menenangkan hati. Di taman itu duduklah Yeski yang sedang memainkan gitar barunya dan Dewi yang duduk disebelahnya sedang menikmati alunan lagu tersebut. Dari situlah mulai timbul rasa cemburu dari dalam hati Ari. Ari sudah lama mencintai Dewi.

 “Yes, gue mau cerita nih sama lo, tapi lo harus janji Cuma kita berdua aja yang tau masalah ini,” kata Ari
“Iye, gue janji. Janji laki-laki sejati hahaha…”
“Serius nih gue! Elu malah becanda!”
“Iya, tenang aja. Emang ada apa sih?”
“Sebenernya, mmmm…. Ah gue malu nih ngomongnya. Lo janji ya jangan ketawa dengernya!” Yeski hanya menganggukkan kepala. “Sebenernya gue udah dari kelas 5 SD suka sama Dewi. Gue suka banget sama dia. Tapi gue ga tau mesti jujur apa enggak sama dia”
Mendengar curhatan temannya itu Yeski hanya bisa terdiam. Karena dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia merasa bingung dan serba salah, karena sebenarnya ia juga mencintai Dewi sejak dulu, di sisi lain, ia pun menyanyangi sahabatnya itu.
“Jujur ya, gue ga berbakat dalam masalah cinta. Gue Cuma bisa bilang ikutin aja apa kata hati lo,” balas Yeski. Malam itu adalah malam yang sangat sulit untuk dimengerti. Bukan hanya bagi Yeski tapi juga bagi Ari.
Pagi itu, di halaman sekolah terlihat para siswa dan siswi berkerumun di halaman sekolah. Semua yang ada di halaman terlena oleh alunan melodi yang indah yang dimainkan oleh Yeski sambil menyanyikan liriknya. Petikan gitar yang lembut tetapi menghasilkan suara yang mempunyai kekuatan itu telah menyihir orang-orang yang mendengarnya.
Dewi melihat penampilan Yeski itu dengan mata yang berkaca-kaca dan senyuman kecil penuh arti. Di sisi lain ada raut wajah kecemburuan yang besar. Semenjak itu Yeski menjadi sangat tenar di sekolahnya. Orang yang tadinya dipandang miskin dan tak bisa apa-apa itu, seperti disulap menjadi seorang pangeran. Bahkan beberapa produser menawarkannya untuk rekaman.

“Ri, lo kenapa sih, kok akhir-akhir ini jutek banget sama gue? Emang gue ada salah apa sih sama lo?” tanya Yeski kepada Ari.
“Yah lo taulah gue kenapa. Gue kira selama ini lo sahabat terbaik gue,” kata Ari sambil pergi meninggalkan Yeski.
“Eh, lo jangan gitu dong! Lo kasih tau kalo gue ada salah sama lo. Jangan diem aja lo. Kaya perempuan banget sih lo!”
Mendengar itu Ari langsung membalikkan badannya dan satu pukulan melayang ke wajah Yeski. Mereka berkelahi begitu hebat. Tak ada satupun yang mau mengalah. Akhirnya mereka dilerai oleh siswa yang ada di dekat mereka.
“GUE SUKA SAMA DEWI DARI DULU, DAN LO TAU ITU. LO TUH BENER-BENER ORANG YANG PALING BRENGSEK!!! LO BUKAN SAHABAT GUE LAGI!!!” teriak Ari dengan sangat emosi, lalu ia pergi menginggalkan sahabatnya yang sudah lusuh dan berdarah.
Tak sengaja ada Dewi di dekat situ. Ia mendengar semua pembicaraan Ari dan Yeski. Ia tak menyangka persahabatan mereka menjadi seperti ini. Terlebih lagi ia bingung karena cintanya terhadap Yeski mulai bersemi. Ternyata keadaan ini juga berat untuknya.

Hari-hari mulai terasa menjengkelkan bagi tiga orang sahabat itu. Meja di kantin yang biasa menjadi tempat tongkrongan mereka malah diduduki oleh siswa-siswi yang lain. Di kelas pun mereka duduk berjauhan dan enggan untuk saling menatap.
Dari kejauhan Glory berlari menghampiri Yeski yang sedang asyik membaca novel yang ia pinjam dari perpustakaan.
“Yes, Yeskiii….” teriak Glory sambil mencucurkan air mata.
“Kenapa Glor?”
“Mama Yes.. mama…” Glory tak bisa menahan isak tangisnya. Ia tak mampu berkata-kata.
Yeski dan Glory segera izin dari sekolahnya. Ibu mereka satu-satunya terbaring lemah di rumah sakit. Sudah lama ibunya sakit kanker hati. Tetapi keluarga miskin itu tak mampu untuk mengurus biaya operasi, yang mestinya dilakukan sejak lama. Di rumah sakit sudah ada Deasy dan Asty yang sedang menangis melihat ibunya. Yeski merasa amat sedih. Apa belum cukup penderitaan yang sudah menimpanya selama ini? Apalagi hubungan dengan sahabatnya sekarang sedang hancur. Karena kejadian ini, Glory dan Deasy harus berhenti sekolah untuk menggantikan ibunya berjualan di stasiun.

Yeski sedang berdiri di depan sebuah kantor rekaman sambil membawa gitarnya. Saat ia ingin melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam, tiba-tiba ia melihat Ari berdiri dari arah kanannya. Seketika itu juga ia menghentikan langkahnya.
“Oh, jadi belom cukup ya ketenaran lo di sekolah. Belom cukup lo menarik perhatian orang-orang termasuk cewek yang gue sayangin?” tanya Ari dengan nada sinis.
“Mau lo apa sih Ri? Maaf banget gue ga mau ribut lagi sama lo”
“Ya iyalah, yang lo mau itu kan KETENARAN, UANG, termasuk Dewi kan?”
“Sekarang mau lo apa? Gue ga mau cuma gara-gara kesalahpahaman lo ini kita jadi berantem. Gue mau lo tetep jadi sahabat gue”
“GUE MAU LO TETEP JADI YESKI YANG SEPERTI BIASA!!! Lo ga usah sok-sok-an jadi artis kalo lo mau tetep sahabatan sama gue dan jangan coba-coba deketin Dewi!!!”
“Gue bukannya sok mau jadi artis Ri. Sekarang gue lagi butuh uang”
Lo kan dari dulu emang selalu butuh uang. Uang masalah gampang! Gue bisa ngasih uang berapa pun yang lagi lo butuhin, tapi kalo Dewi… maaf aja gue ga bisa nyerahin dia begitu aja ke lo!”
Kata-kata Ari yang terakhir itu membuat Yeski membatalkan niatnya untuk mengadu nasib dalam perindustrian musik. Ia mulai bekerja keras dengan mengamen di jalanan pada malam hari dan di siang hari ia tetap bekerja sebagai tukang cuci piring. Semuanya itu ia lakukan agar ia bisa membiayai ibunya yang masuk rumah sakit tanpa kehilangan sahabat yang sangat ia sayangi. Uang yang ia dapat dari hasil mengamen cukup menggembirakan hati. Hal itu dikarenakan permainan gitar Yeski yang lembut tetapi mempunyai kekuatan. Di dalam bus kota, di rumah-rumah makan, Yeski menuangkan perasaannya lewat gitar dan semua orang yang mendengarnya berdecak kagum. Tak jarang orang-orang memberikan uang lebih banyak  dari biasanya.

Pada suatu malam ketika Yeski sedang beristirahat di sebuah taman di tengah kota, datanglah Dewi menghampirinya dengan membawa rantang makanan.
“Yeski,” panggil Dewi dengan senyuman yang lembut
Yeski hanya diam memandang sosok yang manis itu.
“Yes gue sering ngeliat lo ngamen di sini. Keliatannya lo lagi butuh uang banyak ya? Lo cerita dong ke gue, lo ada masalah apa?”
Ah engga. Nggak ada apa-apa kok. Gue Cuma butuh uang lebih banyak aja untuk ngebiayain adik-adik gue. Apalagi kan adik gue yang paling kecil udah harus sekolah”
“Lo yakin? Gue kan sahabat lo, kalo ada apa-apa cerita aja ya sama gue,” balas Dewi sambil tersenyum.
“Oh ya, kok malem-malem gini lo diluar rumah sih? Ga bagus lho anak perempuan keluar malem-malem kaya gini,” tanya Yeski mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Sebenernya gue yang mau curhat sama lo, hehe.. gue lagi jatuh cinta nih sama seseorang”
“Siapa?”
“Orangnya itu baik, sederhana, dia sangat tegar dalam menjalani hidupnya, dan yang paling gue suka dari dia adalah permainan gitarnya yang sekan nada-nada itu mempunyai nyawa”
“…………….”
“Gue suka sama lo Yes, dan gue harap lo juga merasakan hal yang sama dengan gue,” kata Dewi kepada Yeski sambil menatapnya penuh harap.
Setelah cukup lama terdiam Yeski akhirnya menjawab, “Maaf…” tanpa peringatan Yeski beranjak dari sana.
Kekesalan Dewi memuncak, dia berdiri dari tempat duduknya. “KENAPA? KARENA ARI?…..GET REAL JEHEZKIEL,” teriak Dewi membuat Yeski menghentikan langkahnya tanpa berbalik. Yeski dapat mendengar isakan Dewi. Saat itu air hujan sudah membasahi tubuh keduanya. “Cinta bukan sesuatu yang bisa dipaksakan meskipun kau ingin memungkirinya, aku tidak bisa mencintai Ari lebih dari pada seorang sahabat. Tapi aku….aku mencintaimu lebih dari itu. Kalian hanya memikirkan perasaan kalian sendiri. Kalian tidak memikirkan perasaanku, huh?”
“Hmm….aku memang sudah tidak peduli. Baik, aku punya satu pertanyaan. Kalau kau bisa menjawabnya aku akan menerimamu,” ujar Yeski masih tanpa berbalik. “Kenapa batu kalau jatuh di air tenggelam?”
Pikiran Dewi sedang kalut saat itu dia sudah tidak mampu lagi berpikir jernih. Lututnya melemas sehingga ia tertunduk lesu di jalan. Membiarkan setiap tetes air hujan membasahi tubuhnya bersatu dengan air mata yang tidak ingin berhenti mengalir. Meski berkata tidak peduli tapi Yeski meninggalkan jaket lusuhnya di kepala Dewi sebelum pergi tadi. Jujur saja itu membuat hati Dewi semakin sakit.
Tanpa disadari Ari menyaksikan semua kejadian itu. Ketika itu dia kebetulan lewat saat mengantar Glory pulang. Mendengar perkataan Dewi tadi dia sadar kalau selama ini dia salah. Dia terlalu egois sampai tidak memikirkan perasaan Dewi. Bodoh. Ari menggeram sendiri dalam hatinya. Menyesali sikapnya.
 “Kak…” Glory menepuk bahu Ari.
“Maaf Glor Aku mau pulang aja”
“Kak, Aku tau kakak suka sama kak Dewi. Maaf aku cuma mau bilang di dunia ini masih banyak wanita-wanita yang suka sama kakak. Kakak harus liat ke dalam diri kakak sendiri kalau kakak itu sangat sempurna”
Ari membalikan badannya dan mendekati Glory. Ia memeluk Glory sebagai tanda terima kasih karena sudah menghiburnya, walaupun hatinya masih sedikit sakit.

Beberapa hari kemudian Ari berniat datang kepada Yeski untuk meminta maaf. Tetapi sayangnya hari itu Yeski tidak masuk sekolah. Ari memutuskan untuk pergi ke kelas Glory untuk menanyakan kakaknya yang akhir-akhir ini tidak masuk sekolah. Namun ia mendapat kabar bahwa Glory sudah tidak sekolah karena ibunya yang sakit keras. Mendengar itu Ari semakin merasa bersalah kepada Yeski. Padahal ia sahabatnya, tetapi ia tidak tahu kalau temannya berada dalam kesulitan. Air matanya mulai mengaliri wajahnya yang putih dan mulus. Tanpa berpikir panjang Ari segera menaiki mobil pribadinya yang berwarna merah. Ia mengendarai mobil mewah itu sekencang-kencangnya untuk mencari Yeski. Ia mendatangi rumah Yeski, tetapi tidak ada orang di rumahnya. Tiba-tiba tetangga di sebelah rumah Yeski memberitahukan bahwa keluarga miskin itu sedang berduka karena kehilangan ibunya. Mendengar berita duka cita itu Ari segera pergi menuju rumah sakit tempat ibunya Yeski di rawat. Sampai di sana ia melihat Yeski sedang menggendong adiknya yang paling kecil, mencoba memberi pengertian bahwa ibunya sudah  tidak ada. Adiknya yang masih kecil dan lugu itu menangis lirih sambil memanggil mamanya yang sudah terbujur kaku. Begitupun dengan Glory dan Deasy. Ari terdiam sejenak. Ia merasa tidak punya hati untuk mendatangi sahabat yang sudah dimaki-makinya itu. Tetapi ia berpikir inilah saatnya untuk menebus kesalahannya, walaupun sudah terlambat.
“Yes…” Ari tak kuasa menahan rasa sedihnya dan ia langsung memeluk sahabatnya itu.
Lalu dipeluknya Glory yang masih menangis. Ia jadi ingat waktu Glory memberikan semangat untuknya beberapa malam sebelumnya.

Suasana penuh haru menyelimuti rumah kecil itu. Mulai sekarang tidak ada lagi sosok seorang ibu di tengah empat bersaudara tersebut. Yeski sudah tidak bersekolah lagi, begitupun dengan Glory. Keluarga ini hanya sibuk untuk mencari kehidupan yang layak bagi mereka. Di sekolah Ari dan Dewi merasa sangat kehilangan sosok seorang sahabat yg sangat mereka kasihi. Yeski mulai susah untuk ditemui. Ditambah lagi  mereka sibuk mempersiapkan ujian nasional.

Sabtu, 18 September 2010

Ari bersiap untuk berangkat ke peresmian hotel baru yang akan ia pimpin. Seperti biasa ia menaiki mobil yang dikendarai supir pribadinya, dan ia duduk santai di jok belakang sambil membaca koran. Di halaman depan koran tersebut diberitakan seorang musisi muda sedang naik daun dan akan menggelar konser perdananya. Ari begitu terkejut melihat gambar di koran itu. Wajah yang sudah tak asing lagi buatnya, wajah yang sudah ia kenal sejak kecil. Wajah Yeski sambil memainkan gitarnya, lebih tepatnya gitar pemberiannya pada saat Yeski berulang tahun yang   ke-18. Ia tersentak dan segera memesan tiket konser untuk dua orang.
Malam harinya ia mengajak Dewi yang sedang bekerja sebagai waitress di rumah makan yang cukup terkenal.
“Ayolah.. Biar gue yang mintain izin sama bos lo. Lagi pula gue kenal sama bos lo,” pinta Ari.
“Emang kenapa sih, kok  lo maksa banget?”
“Gue pengen ngasih kejutan buat lo. Sekarang lo dandan yang cantik, biar gue yang ngomong sama bos lo. Ntar lo langsung aja ke mobil gue. Okeh!” akhirnya Dewi menerima ajakan Ari dan segera berganti pakaian.

Gedung konser sudah ramai di penuhi banayak orang yang ingin melihat penampilan Yeski. Ari dan Dewi tidak perlu bersusah payah menempati kursi paling depan karena Ari memesan tiket VIP. Saat sosok seorang lelaki keluar dari balik gorden pangung, orang-orang langsung berteriak histeris. Begitupun dengan Dewi.
 “YES… YESKIII….”
Semua orang yang mendengar teriakannya itu menjadi diam. Yeski menengok ke arah kursi VIP. Ia melihat kedua orang sahabatnya masih sama seperti melihat kembali ke masa lalu.
“Terima kasih buat semua orang yang sudah mendukung saya sampai pada saat ini, terutama buat sahabat saya sejak kecil. Lagu ini saya persembahkan unuk mereka”
Yeski mulai memainkan satu demi satu petikan gitarnya yang mengalun dengan indah. Alunannya begitu merdu seolah kau bisa merasakan seluruh perasaan Yeski tercurah di sana. Mata Dewi berkaca-kaca menatap Yeski. Ari menoleh ke arah Dewi. Tidak berubah tetap sama seperti dulu. Inilah wajah tak pernah membuatnya bosan selama ini. Ari terus menikmati pemandangan di hadapannya itu.
“Kalian suka?” tanya Yeski dari atas panggung. Dewi dan Ari sadar merekalah yang diajukan pertanyaan itu. Hal itu sekaligus membuyarkan tatapan mata Ari. Sekarang matanya beralih pada Yeski. “Sudah lima tahun berlalu, sekarang kita sudah dewasa yah? Lagu ini adalah ungkapan perasaanku”
Yeski menggigit bibirnya menahan air mata yang menuntut keluar. Air mata Dewi sudah lebih dulu mengalir. Ari mengusap pundak Dewi mencoba menenangkan gadis itu. Beberapa penonton di sana pun tidak kuasa menahan tangis. Mereka dapat merasakan perasaan Yeski. Kemudian mereka mulai berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah.
“Gue rasa, setelah ini lo mesti nemuin dia di belakang panggung,” bisik Ari. Dewi mengangguk pasrah.

Di belakang panggung,
“Yeski, ada seorang  gadis mencarimu…” kata seorang staf konser.
Setelah mengucapkan terima kasih Yeski segera menemui gadis yang disebutkan tadi. Otaknya sudah bisa menebak dengan jelas siapa gadis itu. Dewi.
“Sudah lama yah?” tanya Yeski dengan senyum polosnya.
Dewi tidak dapat berkata apa pun. Suaranya tercekat oleh sesuatu. Matanya hanya bisa menatap Yeski yang kini tengah tersenyum di hadapannya. Tidak tahan lagi Dewi segera berhambur ke pelukan Yeski. Dewi kemudian menangis sekencang-kencangnya.
“Sudah….sudah jangan menangis, aku di sini,” Yeski mulai berani bicara gombal pada  Dewi.
Dewi melepaskan diri dari pelukan Yeski. Dengan pelan dia memukul lengan Yeski. Tapi Yeski yang sekarang ternyata bukan Yeski yang dikenalnya lima tahun lalu. Kini Yeski sudah lebih dewasa. Dengan satu tangan Yeski menggenggam tangan Dewi. Di tatapnya mata Dewi dengan lekat. Jantung keduanya mulai berpacu dengan cepat. Pembicaraan mereka mulai serius.
“Dewi, ada yang inginku bicarakan…” kata Yeski. Dewi kembali membalas tatapan Yeski. “Apa sekarang kau sudah punya pacar? Kau mau jadi pacarku?”
Setiap pertanyaan Yeski, Dewi hanya menganggukan kepalanya. Tapi pertanyaan yang terakhir tadi sempat membuatnya shock. Tapi dia tidak ingin membuang kesempatan yang sudah terbuang selama lima tahun ini. Dia segera kembali ke dalam pelukan Yeski. Sebagai tanda jawabanya adalah ‘ya’.
Ari yang sejak tadi mengamati mereka hanya tersenyum simpul. Kemudian dia memutuskan untuk pergi dari situ membiarkan keduanya memiliki waktu sendiri. Saat dia berbalik dia menemukan Glory yang sedang tersenyum manis padanya. Lalu mereka pergi minum kopi berdua.
Kembali pada Dewi dan Yeski.
“Jadi, sekarang kita resmi berpacaran?” tanya Yeski polos.
“Kau pikir, huh?” Dewi balas bertanya. “Selamat Ulang Tahun,” kata Dewi. Yeski kembali memeluk Dewi lalu mengecup keningnya.
“Ah!Aku masih ada satu pertanyaan lagi,” ujar Yeski. Dewi menatap heran pada laki-laki yang kini berstatus pacarnya itu. “Kenapa batu kalau jatuh di air tenggelam?”

>> TAMAT <<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar